Akibat Hukum Jika Hak Tersangka/Terdakwa atas Bantuan Hukum Tak Dipenuhi Harus Diatur Dalam Undang-Undang
Indonesia adalah Negara Hukum. Yang berarti, negara ini didirikan dan dijalankan berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka.
Lebih spesifik, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Menurut Prof. Jimly Assidiqie dalam bukunya “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, 2006”, terdapat 12 (dua belas) prinsip negara hukum yaitu 1) supremasi hukum, 2) persamaan dalam hukum (equalilty before the law), 3) asas legalitas, 4) pembatasan kekuasaan, 5) organ-organ eksekutif yang bersifat independen, 6) peradilan yang bebas dan tidak memihak, 7) peradilan tata usaha negara, 8) peradilan konstitusi, 9) perlindungan hak asasi manusia, 10) bersifat demokratis, 11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan kesejahteraan, 12) transparan dan kontrol sosial.
Sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia, Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Salah satu jaminan konstitusional dalam hukum yang dimaksud ialah Hak Atas Bantuan Hukum.
A. Jaminan Konstitusional Hak Warga Negara atas Bantuan Hukum
Hak Atas Bantuan Hukum merupakan hak asasi manusia. Ini tegas dijamin dalam Konstiutsi (UUD 1945) khususnya Pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.
Jaminan konstitusional tersebut lalu diejawantahkan baik melalui undang-undang nasional maupun internasional yang sudah diratifikasi/disahkan Indonesia seperti tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 14 ayat 3 huruf d UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifiaksi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang intinya menyatakan,
“Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Berdasarkan hal ini, jelas sudah, bahwa bantuan hukum merupakan hak setiap orang yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
B. Hak Atas Bantuan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah aturan yang mengatur prosedur pemeriksaan tersangka/terdakwa mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan hingga diputus/divonis oleh Pengadilan. Di dalamnya juga mengatur hak-hak tersangka/terdakwa yang wajib dihormati, dan dipenuhi oleh aparat penegak hukum yang memeriksa, agar pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa berjalan secara adil dan berimbang.
KUHAP disebut-sebut sebagai karya agung anak bangsa. KUHAP menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) staatblad tahun 1941 No. 1 Drt tahun 1951 peninggalan Belanda yang sudah tak relevan lagi (HIR merupakan hukum acara pidana peninggalan belanda yang digunakan sebelum ada KUHAP). Salain itu, hal yang membuat KUHAP dibangga-banggakan karena KUHAP tegas keberpihakannya pada penghormatan dan perlindungan hak tersangka/terdakwa agar diperlakukan secara adil (fair trial) dalam proses peradilan.
Dalam konteks hak atas bantuan hukum, KUHAP menjamin hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasihat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 114 jo Pasal 56 ayat 1 KUHP.
Pasal 114 KUHAP berbunyi: “dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP”
Pasal 56 ayat (1) KUHAP menyatakan: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”
Melihat Pasal di atas, kita tahu bahwa hak didampingi penasihat hukum itu wajib. Penyidik atau pejabat yang memeriksa wajib memberitahukan hak tersangka dan menunjuk penasihat hukum baginya agar tersangka didampingi saat diperiksa sesuai Pasal 56 ayat 1 KUHAP.
Tapi, seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, begitu juga KUHAP kita. Di satu sisi, KUHAP mewajibkan tersangka atau terdakwa didampingi penasihat hukum. Namun, Di sisi lain, KUHAP tidak mengatur sanksi jika hak itu tak dipenuhi oleh penyidik. Di sini titik lemahnya menurut saya.
Dalam praktek, ada beberapa masalah terjadi. Misalnya tersangka tidak didampingi penasihat hukum pada saat pemeriksaan di tingkat kepolisian. Kalaupun ada penasihat hukum, penasihat hukum dimaksud hanya formalitas belaka, tidak menjalankan tugas yang seharusnya ia lakukan sebagai advokat. Pertanyaannya, apa konsekuensi atau akibat hukum jika hak didampingi penasihat hukum tidak dipenuhi oleh penyidik. Ini yang akan kita bahas selanjutnya.
C. Dakwaan Batal Demi Hukum Jika Tersangka atau Terdakwa Tidak Didampingi Penasihat Hukum.
Seperti disebut di atas, KUHAP tak mengatur sanksi atau akibat hukum jika tersangka atau terdakwa tak didampingi penasihat hukum pada saat pemeriksaan khususnya di tingkat penyidikan. Padahal hak didampingi Penasihat Hukum itu “WAJIB”, artinya tidak boleh tidak.
Pasal 114 Jo Pasal 56 ayat 1 KUHAP sudah menegaskan bahwa bantuan hukum (Penasihat Hukum) itu wajib disediakan oleh pejabat yang memeriksa di setiap tingkat pemeriksaan. Lantas, apa konsekuensi hukum jika hal itu tak dilakukan oleh pejabat yang memeriksa?
Jawabannya, berita acara pemeriksaan, dakwaan atau tuntutan dari penuntut umum adalah tidak sah sehigga batal demi hukum.
Akibat hukum itu dapat diketahui dari beberapa putusan Mahkamah Agung (Yurisprudensi) yang menyatakan sebagai berikut:
-
Putusan Mahkamah Agung RI No 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 yang pokoknya menyatakan, “apabila syarat – syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.”
-
Putusan Mahkamah Agung RI No 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998 yang pada pokoknya menyatakan “bahwa bila tak didampingi oleh penasihat hukum di tingkat penyidikan maka bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntut umum batal demi hukum dan karenanya tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan di dampingi penasihat hukum.”
-
Putusan Mahkamah Agung RI No. 545 K/Pid.Sus/2011 menyatakan “Bahwa selama pemeriksaan Terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, sedangkan Berita Acara Penggeledahan dan Pernyataan tanggal 15 Desember 2009 ternyata telah dibuat oleh Pejabat yang tidak melakukan tindakan tersebut namun oleh petugas yang lain; Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa, Berita Acara Penggeledahan tidak sah dan cacat hukum sehingga surat Dakwaan Jaksa yang dibuat atas dasar Berita Acara tersebut menjadi tidak sah dan cacat hukum pula”
Saya memahami logika berpikir para hakim yang tertuang dalam Yurisprudensi di atas. Dasar atau landasan pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan. Dakwaan berlandaskan pada berita acara pemeriksaan (BAP) di kepolisian. BAP itu haruslah benar dan sah.
Salah satu indikator benar dan sah nya BAP adalah dipenuhinya hak-hak tersangka yaitu hak dia didampingi Penasihat Hukum pada saat diperiksa (hak atas bantuan hukum). Sehingga, jika hak tersebut tidak dipenuhi, maka tak sah lah BAP itu. Dan seterusnya dawakaan, tuntutan dan putusan yang dihasilkan atau didasarkan dari BAP yang tak sah menjadi tak sah pula.
D. Akibat Hukum Ini Harus Diatur Secara Tegas Dalam Undang-Undang.
Telah disampaikan, KUHAP tidak mengatur apa akibat hukum jika hak tersangka/terdakwa atas bantuan hukum tak dipenuhi. Akibat hukum itu hanya dinyatakan dalam beberapa putusan Putusan Mahkamah Agung yang menjadi Yurisprudesi seperti disebut di atas.
Seperti diketahui, Indonesia menganut sistem eropa kontinental, dimana Yurisprudensi tidak wajib diikuti. Berarti, akibat hukum jika hak tersangka/terdakwa atas bantuan hukum tidak dipenuhi seperti tertuang dalam beberapa Yurisprudensi belum cukup memberikan perlindungan yang utuh (kepastian hukum) bagi tersangka/terdakwa.
Sebab, para hakim tidak wajib mengikuti Yurisprudensi tersebut. Sewaktu-waktu hakim bisa mengikuti Yurisprudensi dan sewaktu-waktu juga tidak. Atas dasar itu, perlu adanya suatu penegasan yang lebih konkrit, jelas, mengikat, memaksa (imperatif), dan pasti mengenai akibat hukum ini. maka itu tepat, menurut saya, bahwa akibat hukum jika tersangka/terdakwa tidak didampingi Penasihat Hukum pada saat pemeriksaan diatur dalam Undang-Undang.
Seperti kita tahu, KUHAP sudah ada wacana akan direvisi. Dan sudah pernah dibahas di DPR, meski sekarang sedang terhenti pembahasannya. Namun, sepanjang pengetahuan saya, akibat hukum jika tersangka/terdakwa tidak belum juga dimasukan atau diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP. Entah lupa atau apa namanya.
Menurut saya, dalam konteks ini tepat kiranya jika ketentuan mengenai akibat hukum ini dimasukan dalam RUU KUHAP dan diharapkan dapat disahkan dan dan berlaku menjadi undang-undang guna memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi tersangka/terdakwa.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara hukum yang salah satu prinspnya adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hak atas bantuan hukum merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi negara Indonesia. Sehingga Negara wajib untuk menghormati dan memenuhinya.
Dalam konteks peradilan pidana, hak atas bantuan hukum atau hak tersangka/terdakwa didampingi penasihat hukum adalah wajib. Penyidik atau pejabat yang memeriksa wajib memberitahu hak-hak tersangka/terdakwa dan menyediakan itu jika tersangka/terdakwa tidak mampu, seperti diatur dalam Pasal 144 jo Pasal 56 ayat 1 KUHAP.
Jika hak tersebut tidak dipenuhi maka dakwaan atau tuntutan dari penuntut umum menjadi tidak sah sehigga harus dinyatakan batal demi hukum, sebagaimana dinyatakan dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Akibat hukum jika hak tersangka/terdakwa tidak didapingi Penasihat Hukum harus diatur secara tegas dalam Undang-undang agar memberi perlindungan yang utuh baik keadilan dan kepastian hukum bagi para tersangka/terdakwa.
Referensi
Buku:
-
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, 2006), hlm.
Peraturan Perundang-undangan:
-
Undang-Undang Dasar 1945
-
Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undanga Hukum Acara Pidana
-
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-
Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Ratifiaksi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
-
Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) staatblad tahun 1941 No. 1 Drt tahun 1951.
Putusan Pengadilan:
-
Putusan Mahkamah Agung RI No 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993
-
Putusan Mahkamah Agung RI No 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998
-
Putusan Mahkamah Agung RI No. 545 K/Pid.Sus/2011
Internet:
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/