Perluasan Alat Bukti dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana
Pada dasarnya KUHAP tidak mengenal pengaturan mengenai perluasan alat bukti berupa alat bukti elektronik. Namun seiring pesatnya kemajuan teknologi informasi, alat bukti mengalami dinamika yang oleh karena hal tersebut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi mengategorikan “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum. Sebelumnya Berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang termasuk alat bukti yang sah, yaitu: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk; Keterangan terdakwa.
Istilah alat bukti elektronik pertama kali diterangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang mengatur mengenai yang dimuat dalam microfilm atau media lain dan/atau hasilnya cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Pengaturan tersebut kemudian berkembang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut mengatur bahwa alat bukti yang sah untuk tindak pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain, yang diucapkan, dikirim, atau disimpan secara elektronik. Kemudian berlanjut pada Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Atas pengakuan alat bukti elektronik, kemudian setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik diundangkan, alat bukti elektronik yang secara tegas diatur dalam Pasal 5, yaitu:
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. Surat beserta dokumen nya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Walau demikian, karena sifat alamiah-nya bukti digital sangat tidak konsisten maka bukti digital tidak dapat langsung dijadikan alat bukti untuk proses persidangan sehingga dibutuhkan standar agar bukti digital dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan yaitu data harus mampu diterima dan digunakan demi hukum mulai dari kepentingan penyelidikan sampai dengan kepentingan pengadilan, harus berhubungan dengan kejadian/kasus yang terjadi dan bukan rekayasa, lengkap yang berarti di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu investigasi, dan dapat dipercaya mengatakan hal yang terjadi di belakangnya.
Artikel hukum ini ditulis oleh Nabilla Alwiny – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).