Ukuran Pemeriksaan di Pengadilan Yang Adil?
Setiap orang sama di mata hukum, dan berhak diadili secara adil (fair trial). Hal tersebut merupakan hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi UUD 45 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Asas dalam KUHAP: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” (Lihat penjelasan KUHAP poin 3 huruf e)
Penjelasan KUHAP Poin 2: Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Di bawah ini adalah pertanyaan-pertanyaan menurut Paul Sieghart[1], yang dapat dijadikan sebagai ukuran (meski tidak terbatas pada hal-hal ini saja) untuk melihat apakah suatu pemeriksaan di pengadilan pidana sudah dilakukan secara adil atau tidak, sebagai berikut:
1). Apabila hakim memperlihatkan pandangannya pada pokok perkara dan sikap berpihaknya maka di sana diragukan imparsialitasnya;
Pasal 158 KUHAP: “Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan penyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.:
2). Apabila hakim menerima dan mendasarkan putusannya pada kesaksian yang bisa dikategorikan sebagai “hearsay”/testimonium de auditu dan keterangan-keterangan yang tidak bisa diuji kebenarannya;
Keterangan yang diberikan saksi di depan persidangan harus berdasarkan pada apa yang dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri, bukan berdasarkan cerita orang lain ataupun pendapat, pemikiran, dugaan, atau asumsi dari saksi tersebut. (Pasal 185 Jo Pasal 1 angka 6 KUHAP)
Apabila saksi memberikan keterangan berdasarkan pendapat ataupun dugaannya sendiri maka keterangan tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu pertimbangan hakim atau dengan kata lain, keterangan yang demikian tidak termasuk sebagai alat bukti. (BACA JUGA: Pahami Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Menurut KUHAP – Keterangan Saksi-)
3) Kesaksian yang diambil dengan melanggar impunitas;
Impunitas merupakan sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Biasanya ini terjadi dari penolakan atau kegagalan sebuah pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku. Impunitas dapat juga berupa pemberian pengampunan dari pejabat pemerintah. Tindakan seperti ini juga merupakan penghinaan dan tidak disetujui dalam hukum internasional hak asasi manusia.[2]
4) Menolak mempertimbangkan dokumen hanya karena soal bahasa;
5) Bila mendapatkan bukti dengan kekerasan.
Salah satu parameter hukum dalam pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence), salah satunya dengan cara kekerasan, maka bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian sehingga harus dikesampingkan oleh hakim (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016).
Selanjutnya, alat bukti yang dihadirkan di persidangan juga harus kualitatif (relevan) dengan kasusnya. Sebanyak apapun bukti yang dihadirkan jika tidak ada relevansinya maka alat bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian (nol).
6) Bila prinsip-prinsip dasar hukum diabaikan dalam satu putusan.
Prinsip, maupun asas-asas di dalam hukum harus diterapkan dalam setiap pemeriksaan di pengadilan (secara khusus) dan proses peradilan pidana (secara hukum). Jika prinsip-prinsip tersebut tidak diindahkan maka segala pemeriksaan yang telah dilakukan adalah cacat hukum dan tidak sah.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Jika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak atas fair trial di atas, maka beberapa langkah ataupun upaya hukum bisa dilakukan seperti (namun tidak terbatas) misalnya: melaporkan hakim yang bersangkutan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung atau Ke Komisi Yudisial dan sebagainya, mengajukan upaya hukum banding ataupun kasasi terhadap putusan hakim yang melanggar prinsip-prinsip fair trial di atas, dan sebagainya.
Sekian semoga bermanfaat.
Sumber:
Referensi:
-
Pangaribuan, Luhut, “Catatan Hukum Luhut M.P. Pangaribuan: Pengadlan, Hakim Dan Advokat, Pustaka Kemang, Jakarta: 2016.
-
http://referensi.elsam.or.id/2014/09/impunitas/ diakses tanggal 23 Juni 2017
Dasar Hukum:
-
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[1] Luhut Pangaribuan, “Catatan Hukum Luhut M.P. Pangaribuan: Pengadlan, Hakim Dan Advokat, Pustaka Kemang, Jakarta: 2016.hal 179.
[2] http://referensi.elsam.or.id/2014/09/impunitas/ diakses tanggal 23 Juni 2017
Sumber: https://konsultanhukum.web.id/