Sumber Foto
Sejarah Perkawinan Campuran: Bagaimana GHR mengatur perkawinan campuran
Pada awal Februari lalu, seorang warga beragama Katolik, E Ramos Petege, mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) ke Mahkamah Konstitusi. E Ramos Petege dalam gugatannya menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda karena dalam UU 1/1974 tidak memberikan pengaturan terkait hal itu. Padahal, menurutnya UU 1/1974 telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan apa yang menjadi syarat sahnya perkawinan. Akibatnya, terdapat hak-hak konstitusional dari pemohon yang dilanggar, seperti kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena untuk dapat melaksanakan perkawinan salah satu pihak harus menundukkan keyakinannya. Selain itu, Ia juga menyebutkan bahwa kebebasannya atas melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga menjadi hilang oleh karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodasi negara dalam melangsungkan perkawinan. Lantas bagaimana pengaturan hukum atas perkawinan beda agama dan keyakinan yang ada di Indonesia?
Berdasarkan Pasal 1 GHR pengertian perkawinan campuran diartikan sebagai perkawinan yang didasarkan atas para pihak yang melakukan perkawinan campuran ini tunduk terhadap hukum yang berbeda. Dengan demikian, perkawinan campuran ini diartikan secara luas bahwa perbedaan agama, tempat atau golongan sekalipun bukan menjadi batasan untuk adanya perkawinan campuran, sehingga definisi perkawinan campuran ini dapat dimaknai secara luas, yang juga telah diatur dalam pasal 7 GHR.
Hukum yang berlaku terhadap perkawinan campuran ini berdasarkan Pasal 6 ayat 1 GHR menyatakan bahwa pada pokoknya, perkawinan campuran membuat istri mengikuti hukum pihak suami. Terdapat pengecualian untuk berlakunya hukum dari pasal tersebut, dengan adanya “izin” yang didapat dari kedua pihak mempelai. Tidak melihat dari golongan rakyat yang mana, tetapi kedua “izin” ini harus didapat oleh kedua pihak mempelai.
Setelah dikeluarkannya peraturan perkawinan yang diunifikasi dalam UU No. 1 Tahun 1974, GHR menjadi tidak berlaku. Dalam UU a quo Pasal 57 disebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Dengan demikian, hanya perkawinan campuran antar-kewarganegaraan saja yang diakui, sedangkan perkawinan campuran antar-agama sudah tidak diakui karena tidak diatur lagi. Akan tetapi, pada awalnya perkawinan campuran, khususnya antar-agama dinyatakan masih dapat berlaku berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 juncto Pasal 7 ayat (2) GHR jo. Pasal 6 ayat (1) GHR karena sepanjang UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran di GHR. Beberapa sarjana hukum menafsirkan bahwa dalam UU No. 1 Tahun 1974 belum mengatur perkawinan antar-agama sehingga masih dapat dilaksanakan. Pendapat lainnya yang berpendapat bahwa perkawinan campuran antar-agama bisa berlaku atas dasar hukum Pasal 29 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 10 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Permasalahan mengenai perkawinan campuran antar-agama setelah berlakunya UU No.1 Tahun 1974 dapat dilihat pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986 dalam kasus Perkawinan antara Andi Vonny Gani yang beragama Islam dan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan yang beragama Kristen Protestan yang melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Berdasarkan yang sudah disampaikan sebelumnya ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara jelas larangan perkawinan beda agama karena masih dapat dicari celah untuk pelaksanaannya. Melihat kepada ketentuan perkawinan campuran beda agama di Indonesia sekarang sudah ada pada ketentuan dalam UU No.23 Tahun 2006 Pasal 35 yang berisi dan menjelaskan bahwa, pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Mengenai yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Artikel hukum ini ditulis oleh Alya Zafira – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).