Akibat Hukum Kepailitan Orang-Perorangan
Menurut Pasal 1 ayat (11) UU 37/2004, setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi. Artinya, pengaturan kepailitan berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia tidak membedakan antara kepailitan badan hukum maupun orang perorangan. Dengan demikian, ruang lingkup akibat kepailitan baik orang perorangan maupun korporasi sama-sama diatur di UU 37/2004. Berbicara mengenai akibat hukum dari kepailitan, sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan, maka seluruh kekayaan debitur perseorangan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan akan berada dalam sitaan umum. Namun, masih terdapat pengecualian atas harta kekayaan debitur perseorangan yang pailit, yaitu:[1]
- Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur, sehubungan dengan pekerjaannya dan perlengkapannya, alat-alat kesehatannya, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
- Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangnag, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau
- Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang
Terdapat dua kemungkinan akibat hukum yang berhubungan dengan kepailitan yang dialami oleh debitur perorangan yang terikat dalam perkawinan, yaitu akibat hukum jika terdapat penyatuan harta perkawinan dan akibat hukum jika terdapat perjanjian kawin untuk memisahkan harta bersama. Berdasarkan Pasal 23 UU 37/2004, persatuan harta dari seorang debitur yang pailit memberikan akibat hukum terhadap harta perkawinannya tanpa mempersoalkan siapa yang berutang atau berposisi sebagai debitur prinsipal.[2] Akan tetapi, Jika terdapat perjanjian kawin pisah harta dalam perkawinan, maka kepailitan debitur tidak mempengaruhi status hukum pasangan maritalnya seperti yang diatur dalam Pasal 62 dan 63 UU 37/2004.
Artikel hukum ini ditulis oleh Alya Zafira – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).