Bagaimana Hukumnya Kasus Penimbunan Minyak Goreng
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan juga mengeluarkan Peraturan tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit dimana didalamnya ditulis bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah adalah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Atas kebijakan pemerintah tersebut, masyarakat mengeluh bahwa mereka kesulitan untuk memperoleh minyak goreng tersebut. Kelangkaan minyak goreng ini disebabkan karena terlambatnya antisipasi dari pemerintah dan terjadinya penimbunan minyak goreng untuk kepentingan pribadi dan kehidupan keluarganya, tanpa memikirkan nasib orang lain. Padahal minyak goreng yang ditimbun tersebut seharusnya bisa dinikmati oleh warga masyarakat banyak.
Berdasarkan aturan hukum, perbuatan penimbunan tersebut melanggar ketentuan menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU 7/2014). Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang. Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
Menurut Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU 7/2014, barang kebutuhan pokok yang dimaksud adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium. Pihak yang melanggar ketentuan Pasal 29 UU 7/2014 dapat dikenakan atau dijerat Pasal 107 UU 7/2014 yang menyebutkan bahwa:
“Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”
Selain itu, pihak yang menimbun barang juga berpotensi untuk melanggar Pasal 53 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal. Jumlah maksimal tersebut aturannya adalah tidak melebihi stok selama 3 bulan lamanya, berdasarkan catatan rata-rata penjualan perbulan dalam kondisi normal, dan apabila digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi.
Dengan demikian, semua pihak atau pelaku usaha khususnya tidak boleh menyimpan barang kebutuhan pokok dan barang penting yang melewati aturan batas atau dalam artian ini adalah tidak boleh melakukan penimbunan bahan kebutuhan pokok karena berpotensi menjadi tindak pidana.
Artikel hukum ini ditulis oleh Alya Zafira – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).