Penggunaan Alat dalam Pelayanan Kesehatan Tradisional, Bisa dijerat Pidana!
Pelayanan Kesehatan Tradisional adalah pengobatan yang dilakukan dengan mengacu pada keterampilan turun temurun yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian pelayanan Kesehatan tradisional memiliki beberapa unsur:
- Adanya aktivitas pengobatan dan atau perawatan.
- Menggunakan cara atau obat
- Berdasarkan pengalaman dan ketrampilan yang turun-temurun
- Dapat dipertanggungjawabkan secara empiris
- Penerapannya sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) menjelaskan bahwa “Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.”
Salah satu contoh pelayanan kesehatan yang menggunakan alat adalah pelayanan kesehatan akupuntur. Dalam hal ini, apabila suatu praktek akupuntur tidak memperoleh izin dari lembaga kesehatan; tidak dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya; serta tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, pasien sebagai pengguna jasa akupuntur diberikan perlindungan dan kepastian oleh hukum apabila pelayanan kesehatan tersebut menimbulkan kerugian baginya.
Pasal 191 UU Kesehatan berbunyi:
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 201 UU Kesehatan berbunyi:
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa apabila seseorang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan alat dan teknologi tanpa izin dari lembaga kesehatan, tidak dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamananya, serta bertentangan dengan norma yang berlaku, maka orang tersebut dapat dipidana penjara maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp100.000.000,-. Selanjutnya, apabila praktik tersebut dilakukan oleh korporasi terdapat pemberatan denda tiga kali dari denda yang dilakukan oleh perorangan. Korporasi tersebut dapat diberi pidana tambahan berupa pencabutan usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.
Artikel hukum ini ditulis oleh Rosalinda Estevani Kardinal – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).