Dilema Kerugian Lingkungan sebagai Kerugian Keuangan Negara

Dalam beberapa tahun belakangan, banyak terjadi dugaan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pertambangan ilegal yang menyertakan kerugian lingkungan sebagai kerugian keuangan negara. Hal ini bisa dilihat dari pasal yang didakwakan, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Penggunaan pasal tersebut harus mendalilkan adanya kerugian keuangan negara.

Lantas, apakah pertambangan ilegal dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara? Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2023, kerugian lingkungan diartikan sebagai kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Sementara itu, konsep kerugian negara berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kerugian dengan adanya kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik karena disengaja maupun karena kelalaian.

Salah satu contoh kasus dengan diskursus terkait kerugian lingkungan dan kerugian keuangan negara adalah Kasus PT Timah Tbk. Kasus ini berpokok pada permasalahan hukum tambang timah ilegal yang dilakukan dengan membuat perusahaan-perusahaan “boneka.” Kejaksaan Agung mendakwakan tindak pidana korupsi terhadap para pelaku tambang ilegal tersebut.

Kasus ini menunjukkan adanya praktik penegakan hukum yang semata-mata berfokus pada penghitungan kerugian negara ketika menangani kasus korupsi dengan unsur ekstraktif sumber daya alam. Padahal, juga terdapat kerusakan ekologis yang membutuhkan adanya pemulihan lingkungan. Hal tersebut memperlihatkan mulai samarnya batas antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana lainnya.

Hanya karena memenuhi unsur-unsur pasal, bukan berarti delik korupsi harus selalu diprioritaskan ketimbang pengaturan lain yang lebih spesifik dan sesuai untuk diterapkan. Jika semua kasus diancam dengan delik korupsi, maka hukum akan lumrah dijadikan sebagai alat untuk menebar ketakutan.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Fauzan Akbar Mulyasyah – Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
  • Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2023.
Related Posts
WhatsApp chat