Isu mengenai apakah setiap perbuatan korupsi harus selalu dibuktikan dengan adanya perhitungan kerugian negara merupakan persoalan fundamental dalam praktik penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam konteks hukum positif, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang menempatkan “kerugian keuangan negara” sebagai salah satu unsur penting. Namun, tidak semua bentuk tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya unsur kerugian negara yang nyata atau terukur.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara paling singkat empat tahun. Dalam ketentuan ini, kerugian negara menjadi unsur yang harus dibuktikan. Namun, pada pasal-pasal lain seperti Pasal 5, 11, dan 12 UU Tipikor yang mengatur tentang suap, gratifikasi, dan pemerasan, tidak terdapat unsur kerugian negara. Artinya, korupsi jenis ini bersifat delik formil, yakni cukup dibuktikan dengan adanya perbuatan yang dilarang tanpa perlu menunggu akibat berupa kerugian negara.
Sebaliknya, pasal-pasal yang menuntut pembuktian kerugian negara termasuk dalam kategori delik materiil. Dalam delik ini, akibat dari perbuatan menjadi unsur penting yang harus dibuktikan. Oleh karena itu, dalam praktik peradilan, lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memiliki kewenangan untuk melakukan audit guna menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara. Peran kedua lembaga ini menjadi sentral karena hasil perhitungannya sering dijadikan dasar oleh penyidik dan penuntut umum dalam menetapkan pasal yang digunakan.
Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU-X/2012 menegaskan bahwa “kerugian negara” tidak selalu harus dalam bentuk nyata, tetapi dapat berupa potensi kerugian negara. Hal ini memperluas makna pembuktian, terutama untuk mencegah impunitas terhadap pelaku yang belum menimbulkan kerugian secara langsung namun telah melakukan perbuatan yang berpotensi merugikan negara.
Dengan demikian, tidak setiap perbuatan korupsi harus dibuktikan dengan adanya perhitungan kerugian negara. Korupsi dalam bentuk suap, gratifikasi, atau pemerasan tetap dapat dipidana meskipun tidak ditemukan kerugian keuangan negara secara langsung. Hal yang menjadi fokus adalah adanya perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan prinsip integritas jabatan publik. Pemahaman tersebut penting agar penegakan hukum terhadap korupsi tidak terhambat hanya karena persoalan administratif perhitungan kerugian negara.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:
Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Artikel hukum ini ditulis oleh Arya Sulistiawan – Intern DNT Lawyers.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 21 K/Pid.Sus/2009.
- Romli Atmasasmita, ‘Korupsi dan Hukum Pidana’, Bandung: Mandar Maju, 2004.
- BPK dan BPKP, Pedoman Pemeriksaan atas Tindak Pidana Korupsi, 2018.











