Bagaimana KPK Melindungi Hak Pelapor?

Pemberantasan korupsi membutuhkan partisipasi aktif masyarakat untuk melaporkan dugaan tindak pidana tersebut. Namun, banyak masyarakat yang takut untuk melapor karena khawatir akan menghadapi berbagai ancaman, misalnya seperti intimidasi fisik, pemecatan dari pekerjaan, atau tekanan sosial. Pelapor menjadi sumber informasi awal yang sering kali mengungkap modus operandi, pihak yang terlibat, serta jalur aliran dana yang digunakan dalam tindak pidana korupsi. Informasi yang diberikan oleh masyarakat dapat membantu aparat penegak hukum untuk menyusun strategi penyelidikan yang efektif, mengumpulkan bukti tambahan, dan mengidentifikasi saksi kunci.

Perlindungan hukum bagi pelapor dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan, dan rasa aman dari ancaman. Selain itu ada aturan yang menjelaskan bahwa KPK berwenang dalam perlindungan saksi dan korban dalam kasus tindak pidana korupsi yaitu dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, revisi dari Undang-Undang KPK sebelumnya (Nomor 30 Tahun 2002) dalam Pasal 15A. Meskipun fokusnya pada saksi dan korban, namun pelapor juga termasuk dalam lingkup perlindungan ini, karena pelapor sering kali menjadi saksi dalam kasus yang mereka laporkan.

Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2000 setiap pelapor yang mengadu kepada KPK akan dirahasiakan identitasnya kecuali pelapor menghendaki sebaliknya. Hal ini diatur dalam Bab II Pasal 6 ayat 1 yang dimana KPK memiliki kewajiban untuk melindungi identitas pelapor.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 juga mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban dalam perkara pidana, termasuk korupsi, untuk melengkapi kerangka hukum dan memberikan perlindungan bagi pelapor. Dalam undang-undang ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berwenang untuk memberikan perlindungan kepada saksi, pelapor, dan korban, termasuk memberikan perlindungan sementara dan perlindungan tetap.

Perlindungan sementara dapat diberikan segera setelah permintaan perlindungan diterima, sedangkan perlindungan tetap diberikan setelah evaluasi lebih lanjut.  Undang-undang ini juga mengatur mengenai hak saksi, pelapor, dan korban selama dalam perlindungan LPSK, termasuk hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, dan hak atas bantuan medis dan psikologis jika diperlukan.

Sayangnya meskipun KPK sudah berupaya merahasiakan identitas pelapor, terkadang ada hal-hal diluar kendali dimana pelapor justru tampil dan menonjol di publik/media. Oleh karena itu, keberadaan peraturan-peraturan tersebut menjadi sangat penting untuk memastikan hak-hak pelapor terlindungi sehingga masyarakat merasa aman untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi.

 

Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di:

Telp: (021) 2206-4438
Email: info@dntlawyers.com
atau datang langsung ke kantor DNT Lawyers di Harmoni Plaza Blok F-10, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Artikel hukum ini ditulis oleh Wita Sari Peranginangin Intern DNT Lawyers.

 

 

 

Referensi

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Related Posts
WhatsApp chat