Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang penyandang disabilitas fisik bernama Iwas atau dikenal Agus Buntung terhadap korban berjumlah 17 orang menarik perhatian tidak hanya karena jumlah korban yang sangat banyak, tetapi juga karena pelaku merupakan seorang penyandang disabilitas fisik tunadaksa. Hal tersebut menimbulkan skeptisme mengenai kebenaran terjadi atau tidak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Namun begitu, hal tersebut tidak menghalangi pihak kepolisian untuk memproses perkara dengan melakukan percepatan penyidikan dan penyelidikan sehingga tersangka sudah ditetapkan dalam waktu singkat. Kasus tersebut memantik pertanyaan yang menarik, apakah terdapat alasan pemaaf untuk penyandang disabilitas fisik yang melakukan tindak pidana?
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa penyandang disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, cerebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. Disabilitas fisik merupakan salah satu dari 4 (empat) ragam disabilitas yang diatur dalam UU Disabilitas. Adapun ketiga ragam disabilitas lainnya adalah disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik. Alasan pemaaf hanya dapat diberikan kepada pelaku penyandang disabilitas intelektual dan/atau disabilitas mental sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP Lama berikut:
“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
Alasan pemaaf juga turut diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) sebagaimana berikut:
“Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.”
Ketentuan di dalam KUHP Baru memberikan kemudahan dalam pemaknaan “kurang sempurna akalnya” dan “sakit berubah akalnya” yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP Lama. Disabilitas mental merupakan terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, termasuk psikososial (skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian) dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (autis dan hiperaktif). Adapun disabilitas intelektual merujuk kepada terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, seperti lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrom.
Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) merupakan salah satu dari alasan penghapus pidana dalam ilmu hukum pidana. Topo Santoso dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana menjelaskan bahwa alasan pemaaf merupakan fakta dan keadaan yang menghapus kesalahan pelaku, seperti tidak mampu bertanggung jawab, pembelaan terpaksa melampaui batas, dan menjalankan perintah jabatan yang sah. Berdasarkan ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, penyandang disabilitas fisik masih dinilai mampu bertanggung jawab sehingga tidak terdapat alasan pemaaf. Namun begitu, terdapat kebutuhan khusus yang perlu dijamin pemenuhannya bagi penyandang disabilitas fisik yang menjadi pelaku kejahatan dalam proses peradilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat alasan pemaaf bagi penyandang disabilitas yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwa dengan disabilitas fisik harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana pelaku kejahatan non-disabilitas.
Referensi
Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 1 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842.
Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas. UU Nomor 8 Tahun 2016. LN Nomor 69 Tahun 2016 TLN No. 5871.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno.
Peraturan Pemerintah Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. PP Nomor 39 Tahun 2020. LN Tahun 2020 No. 174 TLN No. 6538.
Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet. 2. Depok: Rajawali Pers, 2023.
Hariyanto, Puguh. “Kinerja Polri dalam Penanganan Kasus Agus Buntung Diapresiasi.” Nasional.Sindonews.com, 16 Desember 2024. Tersedia pada https://nasional.sindonews.com/read/1503815/13/kinerja-polri-dalam-penanganan-kasus-agus-buntung-diapresiasi-1734322333. Diakses pada tanggal 16 Desember 2024.
Artikel hukum ini ditulis oleh Farras Zidane Diego Ali Farhan – Intern DNT Lawyers.
Bila Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 2206-4438 atau email: info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).